1. Takhrij Hadits
عن أم سلمة رضي الله عنها قالت : دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم صرحة هذا المسجد فنادى بأعلى صوته :إن المسجد لايحل لجنب ولا لحائض (أخرجه ابن ماجه في كتاب الطهارة وسننها، باب في ما جاء في اجتناب الحائض المسجد\645 والبيهقي في سننه 2/442 في الصلاة باب الجنب يمر في المسجد ماراً ولا يقيم فيه، وابن حزم في المحلى 2/185)
عن عائشة رضي الله عنهاقالت : جاء رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وآلهِ وسلَّمَ ووجوهُ بيوتِ أصحابِهِ شارعةٌ في المسجدِ فقال وجِّهوا هذهِ البيوتَ عنِ المسجدِ ثم دخل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وآلهِ وسلَّمَ ولم يصنعِ القومُ شيئًا رجاءَ أن ينزل فيهمْ رُخصةٌ فخرج إليهم فقالَ وجِّهوا هذه البيوتَ عن المسجدِ فإني لا أُحلُّ المسجدَ لحائضٍ ولا جنُبٍ (أخرجه أبو داود في كتاب الطهارة، باب في الجنب يدخل المسجد \ 232 )
2. Keadaan Hadits
Hadits diatas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Berikut ini beberapa pendapat ulama tentang hadits diatas :
• Menurut al Bani Hadist ini dha’if dalam Tamamun Al manati hal.118 dan dalam kitb Takhjij Musykah al Mashabih 1/241
• Menurut al Baghawi hadits ini bersifat dha’if karena perawinya majhul demikian dipaparkan dalam Kitab Tafsir al Baghawi 1/627
• Menurut Ibnu Hazm dalam kitab al Mahalli 2/185 mengatakan bahwa hadits ini perawinya tidak dikenal kestiqahannya
• Menurut Ibnu Al Qaththan hadits ini hasan dikarnakan adanya Syawahid, dalam kitab al Wahmu Wal Ihamu 5/327
• Menurut Asy Syaukani hadits ini shahih dengan syawahid dalam kitab Nailu al Authari 1/287
• Menurut Albani hadits di atas terdapat dalam kumpulan hadits dhaif ibnu majah.
3. Istimbat HukumAda dua objek yang menjadi titikfukus hadits diatas yaitu wanita haid dan orang junub, dikarenakan keduanya memiliki sedikit perbedaan ‘illatnya. Maka jika ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi) yang tidak memiliki kesamaan. Karena, junub adalah hadats karena pilihannya sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats tersebut. Sedangkan haidh itu datang dan hilangnya secara alami tanpa harus dikehendaki sendiri. Oleh karena itu untuk lebih konprehensif akan diuraikan satu persatatu dibawah ini.
A. Orang junubOrang junub ialah orang yang mengalami keluar spermanya apapun sebabnya baik ada kenikmatan atau tidak. Adapun tentang boleh tidaknya berdiam di masjid, ulama mazhab berbeda pendapat yang dapat dirinci menjadi 3 kelompok :
a) Imam Malik melarang orang junub secara mutlak masuk masjid
b) Imam Syafi’i melarang orang junub berdiam di masjid, kecuali hanya untuk lewat
c) Daud membolehkan orang junub masuk masjid, baik tinggal atau hanya untuk lewat.
Sebab perbedaan adalah karena ada perbedaan persepsi terhadap firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا..... (النساء : 34 )
" Wahai oarang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati salat dalam keadaan mabuk, sehingga kamu tau dan sadar sesuatu yang kamu ucapkan (dan jangan pula kamu mendekati) dalam keadaan junu, kecuali hanya sekedar lewat, sehingga kamu mandi ” (QS . al Nisa’ : 43)
Ayat diatas memungkinkan untuk ditakwil dan dipahami secara majazi dan hakiki. Jika dipahami secara majazi, berarti ada kata yang dibuang, yang jika dibaca menjadi, “ janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid) dalam keadaan mabuk” dan selanjutnya. Jika demikian orang yang sekedar lewat tidak dikatagorikan orang mendekati masjid atau tempat shalat.
Namun jika dipahami secara hakiki, berarti sama sekali tidak ada kata yang dibuang dalam ayat diatas. Pemahaman kita harus kembali ke dasar dan lahiriah ayatnya. Jika demikian, maka kata عابرى السبيل berarti musafir junub yang tidak mendapatkan air atau disini bermakna juga “ jangan kamu mengerjakan shalat dalam keadaan junub sebelum kamu mandi kecuali orang musafir maka dia cukup dengan tayyamum”.
Alhasil, ulama yang memahami ayat diatas secara majazi maka meperbolehkan orang junub lewat atau berjalan di masjid asalkan tidak berdiam didalamnya. Sedangkan ulama yang memahami secara hakiki menyatakan bahwa ayat tidak dapat dijadikan dalil orang junub dilarang tiggal di masjid. (Bidayatul mujtahid hal. 92-93)
B. Wanita HaidhWanita haidh adalah wanita yang sedang mengalami pendarahan di rahimnya secara alami dan normal. Biasanya dialami setiap bulan.
Setelah kita mengetahui bahwa hadits yang melarang wanita haidh berdiam di masjid tidak bisa dijadikan hujjah, hal ini dikarenakan hadits tersebut bersifat dha’if dan memiliki perawi majhul serta ada juga perawi yang diragukan ke-tsiqah-annya. Sebagaimana dalam paparan beberapa pendapat ulama yang telah kami sebutkan diatas. Bahkan ada juga riwayat yang menyatakan pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ada seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid, Namun tidak ada dalil bahwa beliau memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.
Di lain waktu juga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.
Demikian juga dapat diperkuat dengan peristiwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruh ‘Aisyah yang sedang haidh untuk masuk masjid dan mengambil sajadahnya. Sebagaimana sabdanya :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ. ( رواه المسلم )
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).
Jadi, kesimpulannya wanita yang sedang haidh diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid, apalagi berdiam di masjid untuk belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama maka diperbolehkan karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.
4. Perbandingan Berhubungan dengan ini Majlis Tarjih Muhammadiyah memutuskan, bahwa tidak ada dalil yang maqbul yang melarang orang yang sedang haidh masuk masjid, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu boleh. Akan tetapi lain halnya dengan orang junub Muhammadiyah melarang masuk masjid kecuali hanya lewat saja, karena memahami sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah an Nisa’ : 43 tanpa pendekatan majazi yaitu “jangan pula menghampiri masjid, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu, hingga kamu mandi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama :
Asal :
Pekerjaan: