Mata Kuliah : Manaahij Tahdits
DosenPengampu : Ahda bina . Lc, MHI
DisusunOleh :
Muhammad Futaki
Jurusan Syariah
Fakultas Agama Islam
UniversitasMuhammadiyah Malang
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirabila'alamin. Kalimat itulah yang membuat air mata saya menetes. Kalimat itu pula yang membuat hati ini berderai gembira karna syukur pada-Nya. Allah adalah sumber kekuatan yang menggerakkan hati dan akal, menggelorakan semangat dalam dada yang sudah lelah terlalu lama.Allah, Dialah segalanya.
Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad SAW, sosok yang selama ini membuat saya kangen. Setiap kali mendengar namanya disebut, ingin sekali saya bertemu dan bertanya tentang kenapa beliau begitu gigih berjuang untuk umat ini. Apa yang menjadi inspirasi amal beliau ?Semoga saya bisa bertemu dengan Nabi Muhammad di jannah-Nya kelak. Amien.
Menyeleseikan Makalah ini adalah sebuah perjuangan yang melelahkan. Bukanlah fisik saja, tapi juga hati dan pikiran. Karena setiap kali saya menulis sebait paragraf, hati kecil saya bertanya, ”Apakah benar seperti itu? ataukah apa yang saya tulis ini sangatlah jauh dari kesempurna'an” karna masalah ini berhubungan langsung dengan hukum, apa lagi yang saya bahas disini masalah yang sering mejadi pembahasan dengan takaran kajian yang sangat dalam dan rinci. Karna saya juga hanya manusia yang pastinya banyak sekali luput serta kekurangan dan kesalahan. Yah paling tidak saya sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan ilmu saya untuk menuluis makalah ini, dan paling tidak dengan menulis makalah ini saya bisa menambah pengetahuan saya tentang pembahasan ini. Dan tentunya saya dapat merealisasikan Ilmu yang saya pelajari selama beberapa tahun di pesantren dan diasrama PPUT tercinta ini. dengan tujuan untuk mencari ridlo Allah SWT dan agar tulisan ini menjadi suatu amal jariyah yang pahalanya terus-menerus mengalir.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangatlah jauh dari kesempurna'an, meskipun sudah diupayakan dengan maxsimal. Oleh karena itu kritik dan saran yang dapat memotivasi penulis sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurna'an karya tulis ini.
A. Pengertian Dan Hakekat Kata ”Sayyidina” Kata ”Sayyidina” berasal dari bahasa Arab, merupakan gabungan kata ”Sayyid” (penghulu) dan ”na” dari ”nahnu” berupa kepemilikan (kami/ kita). Bila ada orang yang diberi predikat ”Penghulu”, maka orang tersebut adalah dimuliakan dalam suatu kelompok manusia dan orang yang dijadikan ikutan dan pemimpin dalam segala urusan.
a. Bacaan Sayyidina Dalam ShalatShalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifiy (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah saw). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan Rasulullah saw dalam salat. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw telah bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى [رَوَاهُ الْبُخَارِي]
Artinya: “Salatlah sebagaimana kamu sekalian melihat aku salat.” [HR. al-Bukhari]
Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”. Hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan bacaan salawat dalam salat antara lain adalah sebagai berikut:
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قال قُلْنَا يا رَسُولَ اللَّهِ هذا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كما صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إبراهِيْمَ [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata: kami mengatakan pada Rasulullah: Ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu (dalam salat), tapi bagaimana cara kami membaca salawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammadin abdika wa rasulika kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim”. [HR al-Bukhari]
عن كَعْبِ بن عُجْرَةَ قال قُلْنَا أو قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَرْتَنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ وَأَنْ نُسَلِّمَ عَلَيْكَ فَأَمَّا السَّلَامُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قال قُولُوا اللهم صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ على إبراهيم وَبَارِكْ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ على آلِ إبراهيم إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
[رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ia berkata: Kami berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah, engkau menyuruh kami bersalawat kepadamu dan membaca salam kepadamu. Adapun (bacaan) salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara kami bersalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah: “Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala ali Ibrahim innaka hamidun majid”.” [HR Muslim]
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ [رَوَاهُ الشَافِعِي فِي كِتَابِ الْأُمِّ]
Artinya: “Dari Ka’ab bin Ujrah dari Nabi saw, bahwasanya ketika salat ia mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidun majid”. [HR asy-Syafii di Kitab al-Umm]
Dengan demikian, menambahkan kata “sayyidina” dalam salat adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dan oleh karenanya tidak perlu dilakukan.
Paradigma yang kita hadapi dalam ini lafaz ”Sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad adalah pemahaman-pemahaman yang berkaitan dari maksud dan tujuan dalam mengucapkannya. Pendapat yang membid`ahkannya berdalil pada tidak adanya anjuran Rasulullah dan hadits yang menyatakan setiap perbuatan yang belum ada contoh dari Nabi SAW adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat.
Sedangkan pendapat yang membolehkannya, bahkan dalam mazhab Syafi`i dikatakan afdhal, berkutat pada pemahaman dalil-dalil yang bersifat umum, diantaranya dalam surat Al- A’raf: 157 yang artinya: ”Maka mereka yang beriman pada Nabi, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti Qur’an yang diturunkan kepadanya, mereka itulah yang beruntung mendapat kemenangan”. (Surat al-A`raf : 157).
Dasar kesimpulan pemahaman adalah Orang yang memuliakan Nabi SAW merupakan orang yang akan dapat kemenangan dan keberuntungan. Membaca “sayyidina” adalah dalam rangka memuliakan Nabi Muhammad yang mulia. ”Janganlah kamu memanggil Rasul dengan sebagaimana panggilan sesama kamu”. (Surat al-Nur ayat 63: ).
untuk yang pertama (shalawat di luar shalat), ulama sepakat kebolehan menambahkan kata ‘sayyidina’. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan berikut:
a. . Hadits shahih di atas yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad –shallallahu `alaihi wa sallama- bersabda, “Aku adalah sayyid bagi keturunan Adam.
b. ”Tambahan kata ‘sayyidina’, menurut ulama madzhab syafi`iyyah dan hanafiyah –rahimahumullah, sebagai bentuk ta-addub, sikap beradab dan sopan santun kepada Nabi Muhammad Saw.
c. Syekh Utsaimin –rahimahullah- yang juga membolehkan penambahan kata sayyid dalam bacaan shalawat di luar shalat beralasan bahwa Nabi Muhammad–shallallahu `alaihi wa sallama- memiliki siyadah `ala al basyar (sayyid bagi manusia).
Adapun yang kedua, membaca shalawat dalam bacaan tasyahhud/tahiyyat, ulama berbeda pendapat:
Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu disebutkan bahwa ulama Madzhab Syafi`i dan Madzhab Hanafi membolehkan penambahan ‘kata sayyid’, bahkan sangat menganjurkan, dengan alasan yang sama seperti tersebut di atas. Baik di dalam shalat maupun di luar shalat dianjurkan menambahkan kata ‘sayyidina’. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Zakariya al Anshari -rahimahullah, bahwa yang demikian dianjurkan sebagai bentuk adab dan sopan santun. Adapun riwayat yang mengatakan, “Jangan men-sayyid-kan aku dalam shalat”, adalah riwayat lemah (dla`if) yang tidak berdasar.
Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih Tuhan semesta alam. Kita sepakat, Beliaulah sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.
Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ
“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim 2278)
Oleh Karena itu, kita wajib mengimani bahwa beliau adalah sayyiduna (pemimpin kita), sebagai wujud kita memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mana yang lebih afdhal, menambahkan lafadz ‘sayyid’ karena kata ini termasuk sifat yang melekat pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah tanpa diberi tambahan karena tidak ada dalil dalam masalah ini?
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjawab:
نعم اتِّباعُ الألفاظ المأثورة أرجح ، ولا يقال : لعلَّه ترك ذلك تواضعاً منه صلى الله عليه وسلم كما لم يكن يقول عند ذكره : صلى الله عليه وسلم ، وأمّتهُ مندوبة إلى أن تقول ذلك كلما ذُكر ؛ لأنَّا نقول : لو كان ذلك راجحاً لجاء عن الصحابة ، ثم عن التابعين ، ولم نقِفْ في شيءٍ من الآثار عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين أنه قال ذلك ، مع كثرة ما ورد عنهم من ذلك.
وهذا الإمامُ الشافعي أعلى الله درجته وهو من أكثر الناس تعظيماً للنبي صلى الله عليه وسلم ، قال في خطبة كتابه الذي هو عمدة أهل مذهبه : ” اللهم صلِّ على محمد ، إلى آخر ما أدَّاه إليه اجتهاده وهو قوله : ” كلما ذكره الذاكرون ، وكلما غفل عن ذكره الغافلون ”، وكأنه استنبط ذلك من الحديث الصحيح الذي فيه ( سبحان الله عدد خلقه (
وقد عقد القاضي عياض بابا في صفة الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في كتاب “الشفاء” ، ونقل فيه آثارا مرفوعة عن جماعة من الصحابة والتابعين ، ليس في شيء منها عن أحد من الصحابة وغيرهم لفظ : ” سيدنا ” ، والغرض أن كل من ذكر المسألة من الفقهاء قاطبة ، لم يقع في كلام أحد منهم : ” سيدنا ” ، ولو كانت هذه الزيادة مندوبة ما خفيت عليهم كلهم حتى أغفلوها ، والخير كله في الاتباع ، والله أعلم
Benar, mengikuti lafadz shalawat yang ma’tsur (sesuai dalil) itu lebih didahulukan. Kita tidak boleh mengatakan: Bisa jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan demikian karena ketawadhuan beliau, sebagaimana beliau tidak membaca shalawat ketika nama beliau disebut, sementara umatnya dianjurkan membaca shalawat ketika nama beliau disebut. Kami beralasan, andaikan memberikan tambahan ‘sayyidina’ itu dianjurkan, tentu akan dipraktekkan para sahabat, kemdian tabi’in. Namun belum pernah aku jumpai adanya riwayat dari sahabat maupun tabiin yang mengucapkan kalimat itu. Padahal sangat banyak lafadz shalawat dari mereka.
Lihatlah Imam As-Syafi’i –semoga Allah meninggikan derajatnya– beliau termasuk orang yang paling banyak mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Namun beliau sampaikan dalam pengantar buku beliau, yang merupakan acuan pengikut madzhabnya:
اللهم صلِّ على محمد ، إلى آخر ما أدَّاه إليه اجتهاده وهو قوله : ” كلما ذكره الذاكرون ، وكلما غفل عن ذكره الغافلون
Allahumma shalli ‘ala muhammad, sampai pada ujung usaha perjuangan yang telah beliau tunaikan, yaitu ucapan beliau: ‘ketika orang mengingatnya atau ketika orang lalai melupakannya.’
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkomentar: Seolah Imam Syafi’i dengan pengantar tersebut mengambil kesimpulan dari hadis shahih, yang terdapat lafadz; [subhaanallah ‘adada khalqih: Maha Suci Allah, sebanyak jumlah bilangan makhluk-Nya].
Al-Qodhi ‘Iyadh – ulama besar Madzhab Syafi’i –membuat satu bab khusus tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab beliau ‘As-Syifa’. Beliau menukil beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para sahabat dan tabiin. Dan tidak ada satupun riwayat dari seorang-pun sahabat, maupun yang lainnya yang menyebutkan lafadz: ‘sayyidina’. Andaikan tambahan ini dianjurkan, tentu tidak mungkin tidak diketahui oleh mereka semua, sehingga mereka melupakannya. Dan semua kebaikan ada pada sikap mengikuti.” Allahu a’lam
Keterangan beliau di atas dibawakan oleh As-Sakhawi dalam ‘al-Qoul al-Badi’dan Muhammad Al-Gharabili (w. 835 H.) dan itu menjadi prinsip Ibnu Hajar, sebagaimana disebutkan dalam salah satu manuskrip tulisan Al-Hafidz yang ditemukan As-Syekh Al-Albani. Bisa disimak buku Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Hal. 172).
Disadur dari Fatwa islam: no. 84853
Di antara shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat dari Ibnu Abi Laila, bahwa beliau bertemu Ka’ab bin Ujrah (shahabat), kemudian Ka’ab mengatakan, “Maukah kamu, aku beri hadiah? Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Bagaimanakah bacaan salawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhamm‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Andaikan tambahan kata “sayyidina” itu disyariatkan, sebagai bentuk rasa hormat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu Ka’ab bin ‘Ujrah, seorang sahabat yang mulia, akan mengajarkannya kepada muridnya, karena merekalah orang yang paling hormat dan paling tahu cara mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita memahami bahwa bacaan shalawat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memuat tambahan “sayyidina” maka bacaan salawat ketika shalat tidak boleh ditambahi “sayyidina”. Semua bacaan dalam shalat harus tepat sesuai dengan bacaan yang disebutkan dalam dalil. Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa menambahkan lafal “sayyidina” dalam bacaan salawat ketika shalat bisa membatalkan shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama :
Asal :
Pekerjaan: