M. Saad Ibrahim[1]
Pendahuluan
TIDAK semua hadits
berimplikasi tasyri’. Ada
sebuah contoh bahwa
sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW. dalam sebuah
peperangan, tentang penempatan tentara di sebuah kawasan. Apakah kasus
tersebut, merupakan petunjuk wahyu atau hanya pemikiran Nabi semata?
Dalam konteks yang relevan, Nabi pernah pula bersabda, antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian
yang paling tahu tentang urusan dunia kalian). Secara legitimatif, hal ini merupakan dasar yang
menyokong statemen di atas. Di samping itu, ada persoalan lain bahwa,
hadits-hadits yang berfungsi tasyri’
pun, masih berlaku kontekstualisasi yang berakibat terjadinya diskontinuitas
ketaatan terhadap muatan tekstualnya.
Ranah pembedaan antara hadits-hadits yang berfungsi tasyri’ dan yang bukan ini merupakan
wacana yang tak akan pernah usai diperbincangkan, serta tak akan pernah
menyatukan pandangan, termasuk oleh
forum ini. Sekalipun demikian,
perbincangan tentangnya tetap penting, untuk eliminasi muncul dan
berkembangnya berbagai pandangan ekstrem, berupa klaim kebenaran absolut satu
sama lain. Hal demikian, tidak serta merta
harus diartikan, bahwa orang boleh berbeda pandangan dalam semua hal terkait
dengan nash dan muatannya, termasuk juga hadits.
Makalah ini ditulis untuk memberikan tawaran metodologis,
deferensiasi antara hadits tasyri’
dan yang bukan, termasuk juga sifat keberlakuan produk tasyri’-nya, apakah universal ataukah temporal, yang kemudian
memerlukan kontekstualisasi untuk kepentingan kekinian dan kedisinian.
Al-Hadits dan al-Sunnah
Jika dipetakan berbagai
pandangan yang berkembang dalam memberikan definisi antara hadits dan sunnah, tampaknya
dapat dirinci menjadi dua, yaitu: Pertama,
antara keduanya sama; sedangkan yang kedua,
berbeda satu sama lain.
Bagi mereka yang membedakan
antar keduanya, menyatakan bahwa hadits memuat dimensi teoritis, sedang sunnah
bersifat aplikatif. Hadits tidak mengambil bentuk keberulangan, sedang sunnah
menjadi tradisi, karena adanya pengulang-ulangan. Hadits dapat berfungsi tasyri’ dan non-tasyri’.
Hadits yang
berfungsi tasyri’ inilah oleh ahli
ushul didefinisikan sebagai al-Sunnah. Sekalipun terdapat dua pandangan yang berbeda, tetapi
terhadap muatan keduanya sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW., yang
berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lainnya, mereka menyepakatinya.
Perbedaan terletak pada pembuatan kategori-kategori terhadap muatan ini,
seperti uraian tersebut.
Batas-Batas Dimensi Tasyri’iyah Hadits
Jika atas dasar demikian cintanya seseorang kepada Nabi
SAW., kemudian berusaha melaksanakan seluruh yang dilakukan Nabi, tetap saja ia
harus meninggalkan hal-hal yang bersifat spesial (khushûsiyyah) yang hanya ditasyri’-kan
bagi Nabi. Tindakan ini, tetap harus dipandang baik, walaupun menurut
para analis, hal tersebut bukan yang terbaik. Menjadi bukan terbaik, ”Karena
sikap ini tidak menuntut penggunaan kemampuan bernalar, sehingga tidak ada
bedanya antara yang memeras nalar dan yang tidak.” Implikasi lain dari sikap
totalitas ini, ialah hilangnya prinsip al-Islâm
shâlih li kulli zamân wa makan (Islam itu relevan melampaui waktu dan
ruang).
Ada beberapa yang menolak
totalitas tersebut. Paling tidak, ada lima tawaran, sebagai batas-batas yang
akan menentukan bahwa hadits, tidak mengandung dimensi ke-tasyri’iyah-an. Batasan tersebut, antara lain: Pertama, segala hadits tentang urusan keduniaan; Kedua, segala hadits tentang eksistensi
Nabi SAW. sebagai manusia; Ketiga,
segala hadits berkenaan dengan posisi beliau sebagai orang Arab, dengan
berbagai kebudayaannya; Keempat,
berbagai hadits tentang aspek teknis yang ternalarkan (ta’aqquli), walaupun berkenaan dengan ibadah murni; Kelima, berbagai hadits tentang posisi
beliau sebagai komandan perang. Dengan demikian, kelima hal tersebut tidak termasuk hadits tasyri’. Tidak semua hadits tasyri’,
secara terus menerus dijalankan dalam semua tempat dan zaman. Kriteria mayor-nya
ialah, jika tasyri’ itu menghasilkan syari’ah, tidak berlaku perubahan sama
sekali kapan pun dan di mana pun, karena hal tersebut merupakan blueprint bagi agama ini, sekaligus
kebenarannya harus diyakini bersifat absolut.
Sedang jika yang dihasilkan berupa syar’iyah, maka hasilnya dapat disesuaikan dengan perubahan zaman
dan tempat. Untuk yang terakhir ini kebenarannya dhanniy, tidak absolut. Dari segi kuantitas, porsi terbesarnya
terletak pada bagian kedua ini.
Proses pen-tasyri’-an
dari suatu hadits yang menghasilkan hukum syar’iy
ini diperankan secara penuh oleh mujtahid,
yang tentu saja tidak bisa terlepas dari kemungkinan salah, karena itu tidak
boleh dipandang mutlak kebenarannya.
Segera perlu ditambahkan bahwa hanya terhadap kategori syari’ah saja tidak berlaku toleransi,
sedangkan terhadap bagian syar’iyah,
toleransi merupakan keniscayaan.
Dasar-Dasar Kontekstualisasi Teks-Teks
Islam
Dalam bahasa Inggris, kata context antara lain berarti circumstances
in which an event occurs (lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung),
sedang kata contextual diartikan
sebagai according to the context
(menurut atau sesuai dengan konteks).[2]
Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya
memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosio-historis. Bagaimana kemudian ketika lingkungan
sosio-hitoris tersebut berubah? Dalam hal ini, tentu saja harus diadakan
penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya.
Upaya demikian, disebut kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkan dengan
lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya secara tekstual.
Kontekstualisasi pemahaman
teks-teks Islam, paling tidak, dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memahami teks-teks Islam untuk
menemukan dan mengidentifikasikan antara legal spesifiknya dan moral idealnya,
dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah,
Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut
turun.
Kedua, memahami
lingkungan baru yang padanya, teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus
membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan
persamaan-persamaannya.
Ketiga, jika
ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada
persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal-spesifik teksteks
tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral
idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya,
diaplikasikan nashnash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan
lingkungan barunya.[3]
Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam ini absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa signifikan
bagi eksistensi pemahaman tersebut ?
Ada
beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu -
termasuk hadits tasyri’ ini - menjadi niscaya, sekaligus absah. Pertama, masyarakat yang dihadapi oleh
Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata
kultural. Sangat niscaya bahwa kultur itu sangat berhubungan dengan kehadiran
nash-nash, yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal. Pranata dhihar misalnya, ada memiliki ungkapan
bahwa, anti ’ala kadhihr ummiy
(bagiku engkau bak punggung ibuku). Kasus ini, sebagai sebuah pranata adalah
sangat bertipikal Arab.
Kedua,
Nabi SAW. sendiri dalam beberapa kasus, telah memberikan hukum secara
berlawanan satu sama lain, atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda.
Misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan.[4]
Ketiga,
di masa Umar bin Khaththab, talak tiga sekali ucap yang asalnya jatuh satu,
diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam.
Keempat,
implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali
tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d'tre kehadiran Islam itu sendiri.
Kelima,
pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual, berarti mengingkari
adanya hukum perubahan dan keanekaragaman, yang justru diintrodusir oleh nash
sendiri.
Keenam,
pemahaman secara kontekstual yang
merupakan jalan menemukan moral ideal nash, berguna untuk mengatasi
keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan, ketika dilakukan
perumusan legal spesifik yang baru.
Ketujuh,
penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia, lebih dimungkinkan pada
upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual, dibanding secara tekstual,
yang justru menjadi trade mark dari
Islam itu sendiri, Dalam hal ini, Rasyid Ridla (1865-1935) mengungkapkan hal
yang fenomenal bahwa, al-Islam dîn
al-aqli wa al-fikri (Islam itu agama rasional dan intelektual).
Kedelapan,
kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, mengandung makna bahwa, masyarakat
di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif dan optimistis
oleh Islam. Hal ini dibuktikan dengan sikap khasnya, yaitu akomodatif terhadap
pranata sosial yang ada (yang mengandung
kemaslahatan). Dalam suatu kaidah disebutkan bahwa al-’âdah
muhakkamah (tradisi itu dipandang legal).[5]
Sembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk
terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di
dalam teksnya yang terbatas itu, memiliki dinamika internal yang sangat kaya,
yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang
tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya
tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya
dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.
Dengan alasan-alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah.
Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam, sering diajukan dengan menyatakan, jika pemahaman tersebut bersifat
kontekstual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blueprint) Islam itu, akan tidak ada
lagi bekasnya.
Keberatan seperti ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga
tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontektualisasi itu diberlakukan terhadap
keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak
birunya. Salah, karena kontekstualisasi
itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada
batas-batas yang harus tetap dijaga.
Ada dua batasan dalam rangka kontekstualisasi teks-teks
Islam. Pertama, Untuk bidang ibadah
murni ('ibadah mahdlah) dan aqidah,
tidak ada kontekstualisasi. Hal ini memiliki arti bahwa, penambahan maupun
pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu,
karena yang demikian berarti membuat bid'ah, khurafat, dan tahayyul yang
jelas-jelas dilarang dalam Islam.
Kedua, untuk
bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap
berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik
baru yang menggantikan legal spisifik lamanya.
Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam
tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang
ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral ideal bidang di luar
keduanya. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam, tidak akan kehilangan sifat
universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut yang memang bersifat universal.
Signifikasi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam
adalah jelas. Upaya ini bertujuan agar interpretasi tersebut tetap eksis dan
tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab
persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.
Kontekstualisasi Hadits-Hadits di Bidang
Ibadah
Para ahli hadits membuka pintu yang amat lebar, bagi
penolakan terhadap hadits itu sendiri. Ketika mereka menyatakan bahwa, menolak
suatu hadits masyhur tidak
menyebabkan kekufuran,[6] apalagi terhadap kategori ahad, pada hal sebagian besar hadits berstatus ahad.
Kekufuran baru terjadi, jika
penolakan itu ditujukan pada hadits mutawatir, yang jumlahnya amat
sedikit. Pintu itu juga dibuka sendiri
oleh Nabi SAW. ketika beliau mengajukan pembelaan diri terhadap anjuran untuk
tidak perlu mengawinkan bunga kurma, yang kemudian keliru dengan pernyataannya,
”Kalian lebih tahu urusan duniawi kalian.”
Dengan demikian, seluruh hadits yang berkaitan dengan
keduniawian, dapat dilakukan penolakan, jika didapat pengetahuan yang
berlawanan yang lebih akurat tentangnya. Berdasarkan hal ini maka, persoalan
kontekstualisasi terhadap hadits, merupakan persoalan yang lebih ringan dari
pada penolakan terhadap hadits itu sendiri, dalam arti ditolak saja boleh
apalagi sekedar dikontekstualisasikan dengan realitas obyektif kekinian dan
kedisinian.
Terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan bidang
ibadah, kontekstualisasi hanya boleh
dilakukan berkaitan dengan lima
hal.
Pertama, dalam
aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah itu sendiri.
Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul
hilal dengan menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru`yatul hilal. Demikian pula penggunaan
sound system untuk keperluan teknik
pelaksanaan khuthbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadits tentang
khuthbah Rasulullah SAW. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi
sebagai alternatif dari siwak, penentuan waktu shalat dengan jam, bukan dengan
melihat matahari.
Kedua, kepentingan
substitusi, seperti zakat fitri dengan beras di Indonesia, menggantikan kurma
atau gandum seperti ketentuan hadits.
Ketiga,
kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya membagikan
daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun hal ini
berbeda dengan tuntunan hadits yang ada.
Keempat, penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan suatu ibadah
terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas pertanian
(750 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai 10 persen, terasa adanya
ketidakadilan dibanding dengan nisab dan persentase zakat yang lain. Kelima, pemahaman
terhadap ibadah sesuai dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan filsafat.
Berdasarkan hal di atas, dapat dirumuskan kaidah-kaidah
kontekstualisasi hadits dalam bidang ibadah.
Pertama, jika
suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka konntekstualisasi dapat
dilakukan bagi kepentingan efektifitas.
Kedua, jika
tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan, maka
kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut.
Ketiga, jika
kontekstualisasi lebih menghasilkan tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi,
maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
Keempat, jika
dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan
keduniawian, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
Kelima, untuk kepentingan kedalaman
pemahaman suatu ibadah, kontekstualisasi
legitimatis dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat
dilakukan.
Kontekstualisasi Hadits-Hadits di Bidang
Aqidah
Kontekstualisasi hadits-hadits
aqidah, dapat dilakukan semata-mata dalam lima hal. Pertama, pemberian argumen ilmiah dan atau filosofis untuk
mendapatkan kepuasan intelektual, di samping intuitif imani; Kedua, proporsionalisasi pemahaman,
misalnya keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi terakhir, adalah dalam konteks di bumi kita ini, bukan
di bumi lain; Ketiga, kepentingan
penafsiran untuk perluasan pemahaman, misalnya hadits-hadits tentang isra`
mi’raj, ditafsirkan dengan mengkontekstualisasikan pada ilmu pengetahuan, teknologi dan
filsafat;
Penutup Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa, wacana
terhadap deferensiasi hadits-hadits tasyri’
dan yang bukan, akan terus berkembang. Dalam perkembangannya ini sekaligus akan
melahirkan batasan-batasan yang lebih tajam dari sebelumnya. Batasan itu
misalnya, hadits-hadits tentang dan yang berkaitan dengan keduniawian, teknik ta’aqquli dari ibadah murni, Nabi saw
sebagai manusia, orang arab, komando perang, hampir dapat dipastikan tidak
berfungsi tasyri’, sehingga tidak
mengikat secara keagamaan. Tasyri dari
suatu hadits adakalanya berupa syari’ah,
dan kadang berupa syar’iyah. Kategori
pertama merupakan cetak biru Islam, tidak berubah, berlaku sepanjang masa dan
semua tempat, kebenarannya absolut, yang oleh karenanya tidak berlaku
toleransi. Kategori kedua sebaliknya. Terhadap kategori kedua berlaku
kontekstualisasi.
Bibliografi Fazlurrahman,
Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press,
1982.
Hornby,
Albert Sydney, Oxford Advanced Learner's
Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1979.
Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits wa
Musthalahuhu. Beirut: Dar al-
Fikri, tt.
Muslim,
Imam, Shahih Muslim. Hadits
Nomor 1623.
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’
Fiqh al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
[1]
Makalah ini disampaikan oleh M. Saad Ibrahim, Ph.D. dalam Workshop Metodologi Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam
dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang pada 28 April 2012. Pemakalah
adalah Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, dan juga sebagai salah satu Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Jawa Timur, yang membidangi tarjih dan tajdid.
[2]
Albert Sydney Hornby, Oxford Advanced
Learner's Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press,
1979), hal. 130.
[3]
Fazlurrahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of
Chicago Press, 1982), hal. 5-7.
[4]
Secara redaksional, hadits ini berbunyi, “Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Muhammad bin
al-Mutsanna, - sedangkan lafadznya miliki Abu Bakar dan Ibnu Numair – mereka
berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abu Sinan –
ia adalah Dhirar bin Murrah – dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari bapaknya,
ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Dahulu aku melarang kalian untuk
ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah…’”
Hadits ini tertuang dalam buku Shahih
Muslim (Hadits Nomor 1623).
[5]
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah
wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tt), hal. 79.
[6]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikri, tt), hal. 302.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama :
Asal :
Pekerjaan: