31/08/13

MENYARING DIMENSI TASYRI’IYAH HADITS


M. Saad Ibrahim[1]
Pendahuluan
TIDAK semua hadits  berimplikasi tasyri’. Ada sebuah contoh bahwa
sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW. dalam sebuah peperangan, tentang penempatan tentara di sebuah kawasan. Apakah kasus tersebut, merupakan petunjuk wahyu atau hanya pemikiran Nabi semata? 
Dalam konteks yang relevan, Nabi pernah pula bersabda, antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian yang paling tahu tentang urusan dunia kalian). Secara legitimatif, hal ini merupakan dasar yang menyokong statemen di atas. Di samping itu, ada persoalan lain bahwa, hadits-hadits yang berfungsi tasyri’ pun, masih berlaku kontekstualisasi yang berakibat terjadinya diskontinuitas ketaatan terhadap muatan tekstualnya. 
Ranah pembedaan antara hadits-hadits yang berfungsi tasyri’ dan yang bukan ini merupakan wacana yang tak akan pernah usai diperbincangkan, serta tak akan pernah menyatukan pandangan,  termasuk oleh forum ini. Sekalipun demikian,  perbincangan tentangnya tetap penting, untuk eliminasi muncul dan berkembangnya berbagai pandangan ekstrem, berupa klaim kebenaran absolut satu sama lain.  Hal demikian, tidak serta merta harus diartikan, bahwa orang boleh berbeda pandangan dalam semua hal terkait dengan nash dan muatannya, termasuk juga hadits. 
Makalah ini ditulis untuk memberikan tawaran metodologis, deferensiasi antara hadits tasyri’ dan yang bukan, termasuk juga sifat keberlakuan produk tasyri’-nya, apakah universal ataukah temporal, yang kemudian memerlukan kontekstualisasi untuk kepentingan kekinian dan kedisinian. 

 
Al-Hadits dan al-Sunnah    
 Jika dipetakan berbagai pandangan yang berkembang dalam memberikan definisi antara hadits dan sunnah, tampaknya dapat dirinci menjadi dua, yaitu: Pertama, antara keduanya sama; sedangkan yang kedua, berbeda satu sama lain. 
Bagi mereka yang membedakan antar keduanya, menyatakan bahwa hadits memuat dimensi teoritis, sedang sunnah bersifat aplikatif. Hadits tidak mengambil bentuk keberulangan, sedang sunnah menjadi tradisi, karena adanya pengulang-ulangan. Hadits dapat berfungsi tasyri’ dan non-tasyri’.
Hadits yang berfungsi tasyri’ inilah oleh ahli ushul didefinisikan sebagai al-Sunnah. Sekalipun terdapat dua pandangan yang berbeda, tetapi terhadap muatan keduanya sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW., yang berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lainnya, mereka menyepakatinya. Perbedaan terletak pada pembuatan kategori-kategori terhadap muatan ini, seperti uraian tersebut.

Batas-Batas Dimensi Tasyri’iyah Hadits 
Jika atas dasar demikian cintanya seseorang kepada Nabi SAW., kemudian berusaha melaksanakan seluruh yang dilakukan Nabi, tetap saja ia harus meninggalkan hal-hal yang bersifat spesial (khushûsiyyah) yang hanya ditasyri’-kan bagi Nabi.  Tindakan ini, tetap harus dipandang baik, walaupun menurut para analis, hal tersebut bukan yang terbaik. Menjadi bukan terbaik, ”Karena sikap ini tidak menuntut penggunaan kemampuan bernalar, sehingga tidak ada bedanya antara yang memeras nalar dan yang tidak.” Implikasi lain dari sikap totalitas ini, ialah hilangnya prinsip al-Islâm shâlih li kulli zamân wa makan (Islam itu relevan melampaui waktu dan ruang). 
Ada beberapa yang menolak totalitas tersebut. Paling tidak, ada lima tawaran, sebagai batas-batas yang akan menentukan bahwa hadits, tidak mengandung dimensi ke-tasyri’iyah-an. Batasan tersebut, antara lain: Pertama, segala hadits tentang urusan keduniaan; Kedua, segala hadits tentang eksistensi Nabi SAW. sebagai manusia; Ketiga, segala hadits berkenaan dengan posisi beliau sebagai orang Arab, dengan berbagai kebudayaannya; Keempat, berbagai hadits tentang aspek teknis yang ternalarkan (ta’aqquli), walaupun berkenaan dengan ibadah murni; Kelima, berbagai hadits tentang posisi beliau sebagai komandan perang. Dengan demikian, kelima hal tersebut tidak termasuk hadits tasyri’. Tidak semua hadits tasyri’, secara terus menerus dijalankan dalam semua tempat dan zaman. Kriteria mayor-nya ialah, jika tasyri’ itu menghasilkan syari’ah, tidak berlaku perubahan sama sekali kapan pun dan di mana pun, karena hal tersebut merupakan blueprint bagi agama ini, sekaligus kebenarannya harus diyakini bersifat absolut. 
Sedang jika yang dihasilkan berupa syar’iyah, maka hasilnya dapat disesuaikan dengan perubahan zaman dan tempat. Untuk yang terakhir ini kebenarannya dhanniy, tidak absolut. Dari segi kuantitas, porsi terbesarnya terletak pada bagian kedua ini. 
Proses pen-tasyri’-an dari suatu hadits yang menghasilkan hukum syar’iy ini diperankan secara penuh oleh mujtahid, yang tentu saja tidak bisa terlepas dari kemungkinan salah, karena itu tidak boleh dipandang mutlak kebenarannya.  Segera perlu ditambahkan bahwa hanya terhadap kategori syari’ah saja tidak berlaku toleransi, sedangkan terhadap bagian syar’iyah, toleransi merupakan keniscayaan.

Dasar-Dasar Kontekstualisasi Teks-Teks Islam 
Dalam bahasa Inggris, kata context antara lain berarti circumstances in which an event occurs (lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung), sedang kata contextual diartikan sebagai according to the context (menurut atau sesuai dengan konteks).[2]  
Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosio-historis.  Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosio-hitoris tersebut berubah? Dalam hal ini, tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. 
Upaya demikian, disebut kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkan dengan lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut  memahaminya secara tekstual.  
Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, paling tidak, dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal spesifiknya dan moral idealnya, dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah,
Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun. 
Kedua, memahami lingkungan baru yang padanya, teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya. 
Ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal-spesifik teksteks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya.  Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nashnash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya.[3]  
Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam ini absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut ?
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu - termasuk hadits tasyri’ ini - menjadi niscaya, sekaligus absah. Pertama, masyarakat yang dihadapi oleh Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural. Sangat niscaya bahwa kultur itu sangat berhubungan dengan kehadiran nash-nash, yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal. Pranata dhihar misalnya, ada memiliki ungkapan bahwa, anti ’ala kadhihr ummiy (bagiku engkau bak punggung ibuku). Kasus ini, sebagai sebuah pranata adalah sangat bertipikal Arab.  
Kedua, Nabi SAW. sendiri dalam beberapa kasus, telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain, atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda. Misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan.[4] 
Ketiga, di masa Umar bin Khaththab, talak tiga sekali ucap yang asalnya jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. 
Keempat, implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d'tre kehadiran Islam itu sendiri.  
Kelima, pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual, berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman, yang justru diintrodusir oleh nash sendiri. 
Keenam, pemahaman  secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash, berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan, ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.  
Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia, lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual, dibanding secara tekstual, yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri, Dalam hal ini, Rasyid Ridla (1865-1935) mengungkapkan hal yang fenomenal bahwa, al-Islam dîn al-aqli wa al-fikri (Islam itu agama rasional dan intelektual).   
Kedelapan, kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, mengandung makna bahwa, masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif dan optimistis oleh Islam. Hal ini dibuktikan dengan sikap khasnya, yaitu akomodatif terhadap pranata sosial  yang ada (yang mengandung kemaslahatan). Dalam suatu kaidah disebutkan bahwa  al-’âdah muhakkamah (tradisi itu dipandang legal).[5]  
Sembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu, memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus. 
Dengan alasan-alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah. 
Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, sering diajukan dengan menyatakan, jika pemahaman tersebut bersifat kontekstual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blueprint) Islam itu, akan tidak ada lagi bekasnya. 
Keberatan seperti ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontektualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya.  Salah, karena kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus tetap dijaga.  
Ada dua batasan dalam rangka kontekstualisasi teks-teks Islam. Pertama, Untuk bidang ibadah murni ('ibadah mahdlah) dan aqidah, tidak ada kontekstualisasi. Hal ini memiliki arti bahwa, penambahan maupun pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid'ah, khurafat, dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. 
Kedua, untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spisifik lamanya.
Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral ideal bidang di luar keduanya. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam, tidak akan kehilangan sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut  yang memang bersifat universal.
Signifikasi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas. Upaya ini bertujuan agar interpretasi tersebut tetap eksis dan tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.  

Kontekstualisasi Hadits-Hadits di Bidang Ibadah 
Para ahli hadits membuka pintu yang amat lebar, bagi penolakan terhadap hadits itu sendiri. Ketika mereka menyatakan bahwa, menolak suatu hadits masyhur tidak menyebabkan kekufuran,[6] apalagi terhadap kategori ahad, pada hal sebagian besar hadits berstatus ahad.  
Kekufuran baru terjadi, jika penolakan itu ditujukan pada hadits mutawatir, yang jumlahnya amat sedikit.  Pintu itu juga dibuka sendiri oleh Nabi SAW. ketika beliau mengajukan pembelaan diri terhadap anjuran untuk tidak perlu mengawinkan bunga kurma, yang kemudian keliru dengan pernyataannya, 
”Kalian lebih tahu urusan duniawi kalian.”  
Dengan demikian, seluruh hadits yang berkaitan dengan keduniawian, dapat dilakukan penolakan, jika didapat pengetahuan yang berlawanan yang lebih akurat tentangnya. Berdasarkan hal ini maka, persoalan kontekstualisasi terhadap hadits, merupakan persoalan yang lebih ringan dari pada penolakan terhadap hadits itu sendiri, dalam arti ditolak saja boleh apalagi sekedar dikontekstualisasikan dengan realitas obyektif kekinian dan kedisinian. 
Terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan bidang ibadah,  kontekstualisasi hanya boleh dilakukan  berkaitan dengan lima hal. 
Pertama, dalam aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah itu sendiri. Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul hilal dengan menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru`yatul hilal. Demikian pula penggunaan sound system untuk keperluan teknik pelaksanaan khuthbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadits tentang khuthbah Rasulullah SAW. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi sebagai alternatif dari siwak, penentuan waktu shalat dengan jam, bukan dengan melihat matahari.
Kedua, kepentingan substitusi, seperti zakat fitri dengan beras di Indonesia, menggantikan kurma atau gandum seperti ketentuan hadits.
Ketiga, kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya membagikan daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun hal ini berbeda dengan tuntunan hadits yang ada.
Keempat, penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan suatu ibadah terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas pertanian (750 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai 10 persen, terasa adanya ketidakadilan dibanding dengan nisab dan persentase zakat yang lain.                                                                                                                                                        Kelima, pemahaman terhadap ibadah sesuai dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat.
Berdasarkan hal di atas, dapat dirumuskan kaidah-kaidah kontekstualisasi hadits dalam bidang ibadah. 
Pertama, jika suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka konntekstualisasi dapat dilakukan bagi kepentingan efektifitas.
Kedua, jika tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan, maka kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut.
Ketiga, jika kontekstualisasi lebih menghasilkan tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
Keempat, jika dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan keduniawian, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
Kelima, untuk kepentingan kedalaman pemahaman suatu ibadah, kontekstualisasi legitimatis dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat dilakukan.   
Kontekstualisasi Hadits-Hadits di Bidang Aqidah  
Kontekstualisasi hadits-hadits aqidah, dapat dilakukan semata-mata dalam lima hal. Pertama, pemberian argumen ilmiah dan atau filosofis untuk mendapatkan kepuasan intelektual, di samping intuitif imani; Kedua, proporsionalisasi pemahaman, misalnya keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi terakhir,  adalah dalam konteks di bumi kita ini, bukan di bumi lain; Ketiga, kepentingan penafsiran untuk perluasan pemahaman, misalnya hadits-hadits tentang isra` mi’raj, ditafsirkan dengan mengkontekstualisasikan  pada ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat;  
 
Penutup                                                                                                                                             Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa, wacana terhadap deferensiasi hadits-hadits tasyri’ dan yang bukan, akan terus berkembang. Dalam perkembangannya ini sekaligus akan melahirkan batasan-batasan yang lebih tajam dari sebelumnya. Batasan itu misalnya, hadits-hadits tentang dan yang berkaitan dengan keduniawian, teknik ta’aqquli dari ibadah murni, Nabi saw sebagai manusia, orang arab, komando perang, hampir dapat dipastikan tidak berfungsi tasyri’, sehingga tidak mengikat secara keagamaan.  Tasyri dari suatu hadits adakalanya berupa syari’ah, dan kadang berupa syar’iyah. Kategori pertama merupakan cetak biru Islam, tidak berubah, berlaku sepanjang masa dan semua tempat, kebenarannya absolut, yang oleh karenanya tidak berlaku toleransi. Kategori kedua sebaliknya. Terhadap kategori kedua berlaku kontekstualisasi.
Bibliografi                                                                                                                                 Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. 
Hornby, Albert Sydney, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1979.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-
Fikri, tt.
Muslim, Imam, Shahih Muslim. Hadits Nomor 1623. 
Al-Suyuthi,  Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt. 
  



[1] Makalah ini disampaikan oleh M. Saad Ibrahim, Ph.D. dalam Workshop Metodologi Tarjih Muhammadiyah  yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang pada 28 April 2012. Pemakalah adalah Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dan juga sebagai salah satu Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, yang membidangi tarjih dan tajdid.   
[2] Albert Sydney Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1979), hal. 130.
[3] Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 5-7.  
[4] Secara redaksional, hadits ini berbunyi, “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Muhammad bin al-Mutsanna, - sedangkan lafadznya miliki Abu Bakar dan Ibnu Numair – mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abu Sinan – ia adalah Dhirar bin Murrah – dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah…’”  Hadits ini tertuang dalam buku Shahih Muslim (Hadits Nomor 1623).  
[5] Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hal. 79.
[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikri, tt), hal. 302.

Elang dan Kalkun


Files under Cerita Motivasi | Posted by admin
Elang dan Kalkun
Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.
Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!”. Elang membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.
Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung,namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekat dengannya, Sapi berkata, “Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini”.
Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya, “Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?”. Sapi menjawab, “Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan”. Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani.
Sapi menjawab, “Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun tambah bingung, “Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?”. Sapi menjawab, “Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal.” Elang dan Kalkun menjadi syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.
Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”
Elang juga goyah dengan pengalaman ini, “Saya tidak tahu tentang semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu tanpa mbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal itu sebagai tantangan menarik”.
Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan untuk menetap dimana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja. Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui bagaimana ke depannya.
Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk dan malas. Namun suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan bahwa Hari raya Thanks giving akan datang beberapa hari lagi dan alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam. Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.
Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menemukan bahwa ia telah tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanks giving keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun besar yang sedap.
Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi…
Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.

KLONING DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM


Pendahuluan
Ciri-ciri manusia adalah selalu ingin mengetahui rahasia alam, memecahkannya dan kemudian mencari teknologi untuk memanfaatkannya, dengan tujuan memperbaiki kehidupan manusia. Kualifikasi tanaman pangan, penangkaran ternak, dan perbaikan teknologi berburu atau mencari ikan adalah satu manifestasi ciri manusia tersebut. Semuanya dikembangkan dengan menggunakan akal, atau rasio, yang merupakan salah satu keunggulan manusia dibanding makhluk hidup lainnya. Sampai sekarangpun ciri watak manusia itu masih terus berlangsung. Satu demi satu ditemukan teknologi baru untuk memperbaiki kehidupan manusia agar lebih nyaman, lebih menyenangkan, dan lebih memuaskan.
Tanaman pangan dan ternak yang dipelihara selalu direkayasa agar menghasilkan produk pangan yang lebih baik, lebih enak dan lebih banyak. Dikembangkan teknologi kawin silang, hibrida, cangkok, dan sebagainya untuk mencapai keinginan itu. Dengan ditemukannya alat-alat bantu yang lebih canggih, seperti misalnya mikroskop dan media pembiakan di laboratorium, rekayasa itu dilakukan dalam tingkat yang lebih kecil, sehingga ditemukan tanaman pangan tahan lama dan ternak dengan reproduksi susu yang lebih tinggi. Itulah awal dari pengembangan rekayasa genetika, kemudian dunia menjadi gempar setelah munculnya publikasi tentang kloning biri-biri “dolly”, terutama menyangkut bagaimana pandangan agama terhadap kloning manusia. Walaupun kloning manusia belum diumumkan ada, atau tidak ada, atau minimal rencana bagi para ilmuwan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah boleh dilakukan atau tidak?
Pada makalah ini akan dkemukakan tentang apakah kloning itu, lalu bagaimana proses bioteknologi tersebut, dan bagaimana pandangan ulama, atau kajian tentang hukum islam terhadap kloning manusia tersebut.

Istilah kloning dan prosesnya
Istilah kloning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa greek) atau klona, yang secara harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru yang persis sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman yang diambil dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang digunakan, dapat dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat penampangan potongan/pangkasan tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya keterlibatan jenis kelamin, maka yang dimaksud dengan klonasi adalah suatu metode atau cara perbanyakan makhluk hidup (atau reproduksi) secara aseksual. Hasil perbanyakan lewat cara semacam ini disebut klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai individu atau organisme yang dimiliki genotipus yang identik.
Dalam perkembangannya, klonasi tidak hanya dikerjakan dengan memanfaatkan potongan tanaman yang umumnya berbentuk batang yang mengandung titik-titik tumbuh calon ranting dan daun, tetapi juga memanfaatkan hampir semua jaringan tanaman untuk menghasilkan tanaman sempurna. Dengan teknologi biakan jaringan, potongan daun atau sekeping jaringan dari batang tanaman lengkap. Dari sini terlihat bahwa klonasi pada dasarnya memanfaatkan sel-sel tanaman yang masih memiliki kemampuan untuk memilah-milah diri menghasilkan berbagai jenis tanaman, seperti akar, batang dan daun dengan fungsinya masing-masing. Kemampuan semacam ini ternyata semakin menurun seiring dengan meningkatnya status organisme. Pada organisme tinggi, misalnya mamalia, sel-sel jaringan telah kehilangan totipotensinya, sehingga apabila tanaman hanya mampu menghasilkan sel sejenis, tetapi tidak mampu memilah diri lagi untuk menghasilkan organ atau sel dengan fungsi yang lain. Berbeda dengan tanaman, klonasi mamalia tidak dapat dikerjakan, misalnya dengan menanam sel atau jaringan dari bagian tubuh, seperti tangan, kaki, jantung, hati untuk menghasilkan individu baru. Dengan demikian, klonasi pada organisme tingkat tinggi hanya dapat dikerjakan lewat sel yang masih totipoten, yaitu sel pada aras embrio atau mudghah.
Dari pemahaman tentang sifat sel organisme tadi, jika ditinjau secara umum sesuai dengan aras kehidupan organisme, maka klonasi dapat dikerjakan pada berbagai aras, yaitu klonasi pada aras sel, aras jaringan dan aras individu.  Pada organisme sel tunggal atau unisel seperti bakteri, perbanyakan diri untuk menghasilkan individu yang baru, berlangsung lewat klonasi sel. Dalam hal ini klonasi sel sekaligus juga merupakan klonasi individu pada hewan dan manusia dapat juga terjadi, misalnya pada kelahiran kembar satu telur. Masing-masing anak di sini merupakan klonus yang memiliki susunan genetis identik.
Dalam perkembangan biologi molekuler, sekarang dimungkinkan klonasi pada aras yang lebih kecil daripada sel, yaitu aras gena. Kemampuan manusia melakukan klonasi gena memunculkan bidang ilmu baru, yang disebut rekayasa genetika. Untuk pertama kalinya suatu gena berhasil diklonasi dengan teknik dna rekombinan pada tahun 1973. Hanya dalam selang waktu tiga tahun, teknologi ini sudah dikomersialkan oleh suatu perusahaan di california usa, yaitu genentech. Sebetulnya klonasi gena juga terjadi secara alami pada beberapa mikroorganisme. Misalnya beberapa mikroorganisme yang semula rentan terhadap antibiotika berubah menjadi klon mikroorganisme yang kebal antibiotika. Klona ini terjadi akibat perbanyakan diri lebih lanjut mikroorganisme induk yang telah kemasukan gena kebal tadi.
Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia. Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu organisme. Klon adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan kloning domba bernama dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak lama lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel telur atau sperma) dari seseorang, kemudian dna dari sel itu diambil dan ditransfer ke dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni dna) yang ada dalam sel telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah. Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya di bidang medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning dapat diringkas sebagai berikut:
  1. Kloning manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur untuk mendapatkan anak.
  2. Organ manusia dapat dikloning secara selektif untuk dimanfaatkan sebagai organ pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat meminimalisir risiko penolakan.
  3. Sel-sel dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh yang rusak, misalnya urat syaraf dan jaringan otot. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Di kemudian hari akan ada kemungkinan tumbuh pasar jual-beli embrio dan sel-sel hasil kloning.
  4. Teknologi kloning memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan dan mematikan sel-sel. Dengan demikian, teknologi ini dapat digunakan untuk mengatasi kanker. Di samping itu, ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning.
  5. Teknologi kloning memungkinkan dilakukan pengujian dan penyembuhan penyakit-penyakit keturunan. Dengan teknologi kloning, kelak dapat membantu manusia dalam menemukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung, atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan.

Kloning prespektif hukum Islam
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum islam bermula dari ayat berikut: “… kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki …” (qs. 22/al-hajj: 5).
Abul fadl mohsin ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-qur’an tentang penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada allah swt sebagai pencipta? Abul fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-qur’an bahwa allah swt telah menciptakan nabi adam as. Tanpa ayah dan ibu, dan nabi ‘isa as. Tanpa ayah, sebagai berikut: “sesungguhnya misal (penciptaan) `isa di sisi allah, adalah seperti (penciptaan) adam. Allah menciptakan adam dari tanah, kemudian allah berfirman kepadanya: “jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia” (qs. 3/ali ‘imran: 59).
Pada surat yang sama juga dikemukakan: “(ingatlah), ketika malaikat berkata: “hai maryam, sesungguhnya allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-nya, namanya al-masih `isa putera maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: “ya tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan jibril): “demikianlah allah menciptakan apa yang dikehendaki-nya. Apabila allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka allah hanya cukup berkata kepadanya: “jadilah”, lalu jadilah dia” (qs. 3/ali ‘imran: 45-47).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak allah. Namun, kendati allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan adam as. Dan ‘isa as. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak allah swt. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada allah swt sebagai pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan allah swt.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, kh. Ali yafie dan dr. Armahaedi mahzar (indonesia), abdul aziz sachedina dan imam mohamad mardani juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar fakultas farmasi ugm yogyakarta juga berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya mempunyai dna dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak), maka dna yang ada dalam tubuh anak tidak membawa dna ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung bukan ibunya.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:
  1. Dalam islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
  2. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri cina sekalipun).
  3. Islam menyampaikan bahwa allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat qs. 96/al-’alaq).
  4. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin allah (lihat ayat kursi pada qs. 2/al-baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan iptek dan doktrin agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut penuturan imam al-syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: “untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
  2. Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa ian wilmut, a.e. schieneke, j. Mc. Whir, a.j. kind, dan k.h.s. campbell harus melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “dolly”. Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum waris islam (al-mirâts).
  3. Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum islam, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.
  4. Menghambat proses penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut: orang-orang baduy datang kepada nabi saw, dan berkata: “hai rasulallah, haruskah kita mengobati diri kita sendiri? Nabi saw menjawab: “ya, wahai hamba-hamba allah, kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”. Mereka bertanya: “apa itu?” Nabi saw menjawab: “penuaan”.
5.      Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (a) seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya. (b) sebuah hadits menyatakan: “di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya”.

Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis sekedar membuat rumusan sebagai berikut:
  1. Kloning sebagai pengembangan iptek, termasuk hasil perkembangan fikiran manusia yang patut disyukuri dan dimanfaatkan bagi peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih terhormat.
  2. Hasil pemikiran manusia dengan agama akan seimbang bila hasil pemikiran tersebut didasarkan pada sistem dan metode pemikiran yang benar, dan agama digali dengan daya ijtihad yang benar pula. Keduanya saling kuat-menguatkan.
  3. Klonasi ditinjau dari segi aspek teologis memperluas wawasan pengenalan terhadap kodrat iradat ilahi, bahkan klonasi itu sebagai bukti kecanggihan sunnah allah yang tertuang dalam ciptaan-nya dan membuktikan kemaha kuasaan-nya.
  4. Klonasi terhadap manusia dengan tujuan untuk dijadikan cadangan transplantasi organ tubuh manusia dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan syara’.
  5. Klonasi jaringan sel dan organ tubuh manusia, selama dibenarkan oleh ilmu pengetahuan dan sesuai dengan tujuan syara’ dipandang sangat membantu bagi penyembuhan dengan jalan transplantasi.
  6. Implementasi klonasi terhadap manusia dipandang bertentangan dengan nilai-nilai ketinggian martabat manusia dan bertentangan pula dengan tujuan syara’, karena dipandang kemungkinan terjadinya kekacauan hukum keluarga dan hubungan nasab, serta ketidakpastian eksistensinya.
  7. Keadaan darurat tidak dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan implementasi klonasi manusia, karena tidak ada yang merasa terancam, baik dari segi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta karena tidak melaksanakan klonasi.
 # Sumber dari berbagai Referensi.